Outsourcing: Efisiensi Bagi Pengusaha, Ketidakpastian Bagi Pekerja



Karawang, PUKSCB – Sistem outsourcing atau alih daya semakin marak digunakan perusahaan di Indonesia. Di balik istilah modern tersebut, praktik ini kerap menjadi “jalan pintas” bagi pengusaha untuk menekan biaya operasional. Namun, konsekuensinya, jutaan pekerja justru terjebak dalam situasi kerja tanpa kepastian dan kesejahteraan yang layak.

Melalui outsourcing, perusahaan pengguna jasa tidak lagi merekrut karyawan secara langsung. Tugas itu dialihkan kepada perusahaan penyedia tenaga kerja. Alhasil, perusahaan utama bisa memangkas beban biaya, mulai dari gaji, tunjangan, hingga kewajiban pesangon.

“Secara kasar, inilah cara licik pengusaha menghemat ongkos. Mereka tetap dapat tenaga kerja, tapi menghindar dari tanggung jawab hukum yang seharusnya melekat pada hubungan kerja,” ungkap seorang aktivis buruh.

Bagi pengusaha, outsourcing dianggap sebagai solusi efisiensi. Biaya tenaga kerja bisa ditekan karena pekerja outsourcing umumnya digaji lebih rendah daripada karyawan tetap. Tunjangan seperti cuti tahunan, uang makan, transportasi, bahkan pesangon kerap diabaikan.

“Dengan outsourcing, perusahaan bisa mempekerjakan tenaga kerja sesuai kebutuhan. Begitu order menurun, kontrak langsung diputus tanpa beban tanggungan,” jelasnya.

Di sisi lain, pekerja outsourcing menanggung ketidakpastian. Kontrak pendek—sering hanya enam bulan atau setahun—membuat mereka sulit merencanakan masa depan. Tidak sedikit pula yang harus menerima gaji di bawah standar atau bahkan di bawah upah minimum.

Undang-Undang Ketenagakerjaan, baik UU No. 13/2003 maupun UU Cipta Kerja, sebenarnya telah mengatur praktik outsourcing. Namun, celah hukum kerap dimanfaatkan. Aturan yang hanya membolehkan outsourcing untuk pekerjaan penunjang justru banyak dilanggar.

“Di lapangan, tidak jarang buruh pabrik, bagian produksi, bahkan operator mesin dipekerjakan lewat outsourcing. Padahal jelas-jelas itu pekerjaan inti,” kata seorang pengurus serikat.

Andi, pekerja outsourcing di sebuah perusahaan elektronik besar di Bekasi, mengaku sudah lima tahun bekerja namun statusnya tidak pernah berubah. “Tiap tahun kontrak baru. Tidak ada pesangon, tidak ada tunjangan, semua serba sementara. Kalau protes, perusahaan bisa langsung ganti orang baru,” tuturnya.

Bagi pekerja outsourcing, masalah ini bukan sekadar soal upah rendah, melainkan soal martabat. Mereka bekerja sekeras karyawan tetap, tetapi tetap dianggap “pekerja kelas dua”.

Serikat pekerja pun terus mendesak pemerintah melakukan pengawasan lebih ketat. Menurut mereka, selama outsourcing masih dijadikan “senjata licik” pengusaha untuk menekan biaya, buruh akan terus dirugikan.

“Outsourcing bukan sekadar efisiensi, tapi praktik untuk menghindar dari kewajiban. Kalau tidak dikontrol, ini akan menjadi wajah modern perbudakan tenaga kerja,” tegasnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama